BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang Masalah
Jauh
sebelum diproklamasikannya Republik Indonesia, Aceh adalah sebuah negeri
berdaulat dan dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara. Mencapai
puncak kejayaan pada masa Sultan Iskandar Muda. Pada abad XVI, Aceh pernah
tercatat sebagai salah satu kerajaan Islam besar di dunia.
Posisi
Aceh yang dekat dengan laut, mejadikannya sebuah wilayah persinggungan berbagai
budaya dari seluruh dunia. Tercatat sejak abad VIII, Aceh menjadi tempat
strategis untuk persinggahan pelayaran bagi para pedagang yang berasal dari
Arab, Persia, Turki, maupun Spanyol yang hendak menuju Cina maupun India.
Beberapa pedagang menetap di Aceh dan melangsungkan perkawinan dengan perempuan
– perempuan Aceh. Maka terjadilah akulturasi budaya.
Salah
satu tradisi yang menjadi warisan turun temurun adalah penggal budaya berupa
karya kesenian. Dalam konteks Aceh, kesenian sebagai bagian dari kebudayaan
tidak terlepas dari nilai – nilai tradisi masyarakatnya. Seni yang dimaksud adalah
kemampuan seseorang atau sekelompok untuk menampilkan hasil karya di hadapan
orang lain. Dalam konteks masyarakat Aceh dahulu, seseorang yang mempunyai
nilai seni, maka ia akan menjadi sosok yang akan menjadi perhatian. Sejumlah
sumber tertulis menyebutkan, ada beberapa jenis kesenian Aceh, diantaranya
dhikee, Seudati, Rukoen, Rapai Geleng, Rapai Daboeh, Biola (mop-mop), Saman,
Laweut dan sebagainya. Sepintas lalu, kegiatan seni yang dilakukan bertujuan
untuk menghibur diri atau kelompok tertentu. Tapi sebenarnya, mengandung banyak
makna, utamanya internalisasi nilai budaya lokal yang kuat dan mengakar yang
pada gilirannya menjadi corak yang khas.
Mantan
Gubernur Aceh, Ali Hasjim pernah mengatakan kesenian Aceh menjadi istimewa
bukan karena kesedihan dan kegeraman fakta sejarah yang menjerat kejayaan Aceh
ratusan tahun lamanya. Tapi justru menjadi istimewa karena kehalusan kreasi
senimannya dalam memelihara kebesaran Sang Pencipta yang tertuang dalam latar
inspirasi alam dan fenomena hidup di negeri Aceh. Seni di Aceh menurutnya
sangat istimewa, karena keseimbangan kreatifitas para seniman dalam aktualisasi
nalar berkesenian yang runut, berwawasan, unik dan universal.Menilik perjalanan
beberapa kesenian Aceh yang telah disebutkan sebelumnya, ternyata tidak
terlahir dari kalangan istana atau tradisi besar. Melainkan dari tradisi kecil
atau istilah Jawanya wong cilik. Yang sangat mencolok dalam kesenian Aceh
adalah ruh nilai – nilai Islam begitu terasa dalam denyut nadi kesenian Aceh.
Pada
Buku Bunga Rampai Budaya Nusantara, Kesenian Aceh secara umum terbagi dalam
seni tari, sastra dan cerita rakyat. Adapun ciri – ciri tari tradisional Aceh
antara lain ; bernafaskan Islam, ditarikan banyak orang, pengulangan gerak
serupa yang relatif banyak dan rancak, memakan waktu penyajian relatif panjang,
kombinasi dari tari musik dan sastra, serta pola lantai yang terbatas. Pada
masa awal pertumbuhannya, disajikan dalam kegiatan khusus berupa
upacara-upacara dan gerak tubuh terbatas. Seni seperti dimengerti, adalah
ungkapan kecantikan jiwa. Kesenian Aceh atau ungkapan jiwa orang Aceh, dibalut
dengan nilai-nilai agama, sosial dan politik. Kenyataan ini dapat dilihat dalam
seni tari, sastra, teater dan suara. Selain itu, tari atau seni tradisional
Aceh dipengaruhi sosial budaya Aceh itu sendiri. Seni Aceh dipengaruhi latar
belakang adat agama dan latar belakang cerita rakyat (mitos legenda). Seni tari
yang berlatar belakang adat dan agama seperti tari saman, meuseukat, rapai uroh
maupun rapai geleng, juga Rampou Aceh dan Seudati. Sementara seni yang berlatar
belakang cerita rakyat (mitos legenda) seperti tari Phom Bines dan Ale Tunjang
1.2 Rumusan Masalah
Untuk
lebih memperjelas ruang lingkup pembahasan. Masalah-masalah yang akan dibahas
lebih dalam adalah:
1.Apa
saja tarian-tarian dari Suku Aceh yang termasuk dalam warisan budaya Aceh?
2. Dari
daerah manakah tarian-tarian dari Suku Aceh dan Syair Berasal?
3.
Apa makna dan fungsi dari tarian-tarian dari Suku Aceh dan Syair?
4. Bagaimana
sistem tarian-tarian Suku Aceh dan Syair Itu?
.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulis ingin mengetahui lebih lanjut kesenian tari Dan Syair apa sajakah yang ada di Aceh dan
untuk lebih memper dalam pengetahuan tentang kesenian Tari Dan Syair yang ada
di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.2
Kearifan Lokal Yang Nyata
Provinsi Aceh yang memiliki setidaknya suku bangsa, memiliki kekayaan tari-tarian
yang sangat banyak dan juga sangat mengagumkan. Beberapa tarian yang terkenal
di tingkat nasional dan bahkan dunia merupakan tarian yang berasal dari Aceh,
seperti Tari Rateb Meuseukat dan Tari Saman. Disini penulis akan membahas
tarian-tarian dari Suku Aceh.
A.
Tarian Suku Aceh
1.
Tari Laweut
Tari Laweut adalah tari yang berasal dari Aceh. Laweut berasal dari kata Selawat,
sanjungan yang ditujukan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Sebelum sebutan laweut dipakai,
pertama sekali disebut Akoon (Seudati Inong). Laweut ditetapkan namanya pada
Pekan Kebudayaan Aceh II (PKA II). Tarian ini berasal dari Pidie dan telah berkembang di seluruh
Aceh.Gerak tari ini, yaitu penari dari arah kiri atas dan kanan atas dengan
jalan gerakan barisan memasuki pentas dan langsung membuat komposisi berbanjar
satu, menghadap penonton, memberi salam hormat dengan mengangkat kedua belah
tangan sebatas dada, kemudian mulai melakukan gerakan-gerakan tarian.
2. Tari
Likok Pulo
Tari Likok Pulo adalah tari yang
berasal dari Aceh. Tarian ini lahir sekitar tahun 1849, diciptakan oleh seorang ulama tua berasal dari Arab yang hanyut di laut dan terdampar
di Pulo Aceh. Tari ini diadakan sesudah menanam padi atau sesudah panen padi, biasanya
pertunjukan dilangsungkan pada malam hari bahkan jika tarian dipertandingkan
dapat berjalan semalam suntuk sampai pagi. Tarian dimainkan dengan posisi duduk
bersimpuh, berbanjar, atau bahu membahu.Seorang pemain utama yang disebut cèh
berada di tengah-tengah pemain. Dua orang penabuh rapa’i berada di belakang atau sisi kiri
dan kanan pemain. Sedangkan gerak tari hanya memfungsikan anggota tubuh bagian
atas, badan, tangan, dan kepala. Gerakan tari pada prinsipnya ialah
gerakan oleh tubuh, keterampilan, keseragaman atau
kesetaraan dengan memfungsikan tangan sama-sama ke depan, ke samping kiri atau
kanan, ke atas, dan melingkar dari depan ke belakang, dengan tempo mula lambat hingga
cepat.
3.
Tari Pho
Tari Pho adalah tari yang berasal
dari Aceh. Perkataan Pho berasal dari kata
peubae, peubae artinya meratoh atau meratap. Pho adalah panggilan atau sebutan
penghormatan dari rakyat hamba kepada Yang Mahakuasa yaitu Po Teu Allah. Bila
raja yang sudah almarhum disebut Po Teumeureuhom.Tarian ini dibawakan oleh para
wanita, dahulu biasanya dilakukan pada kematian orang besar dan raja-raja, yang
didasarkan atas permohonan kepada Yang Mahakuasa, mengeluarkan isi hati yang
sedih karena ditimpa kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan
yang diiringi ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi ditonjolkan
pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan
pada upacara-upacara adat.
4.
Tari Ranup Lampuan
Tari Ranup Lampuan adalah salah satu
tarian tradisional Aceh yang ditarikan oleh para wanita. Tarian ini biasanya
ditarikan untuk penghormatan dan penyambutan tamu secara resmi. Tari Ranup
Lampuan dalam bahasa Aceh, berarti sirih dalam puan. Puan adalah tempat sirih
khas Aceh. Karya tari yang berlatar belakang adat istiadat masyarakat Aceh,
khususnya adat pada penyambutan tamu. Secara koreografi tari ini menceritakan
bagaimana dara-dara Aceh menghidangkan sirih kepada tamu yang datang, yang
geraknya menceritakan proses memetik, membungkus, meletakkan daun sirih ke
dalam puan, sampai menyuguhkan sirih kepada tamu yang datang.
5.
Tari Rapa’i Geleng
Rapa’i adalah salah satu alat tabuh
seni dari Aceh. Alat tabuh ini dikenal dengan nama
Rebana. Rapa’i (Rebana) terbagi kepada beberapa jenis permainan, Rapa’i Geleng
salah satunya. Permainan Rapa’i Geleng juga disertakan gerakan tarian yang
melambangkan sikap keseragaman dalam hal kerjasama, kebersamaan, dan penuh
kekompakan dalam lingkungan masyarakat. Tarian ini mengekspresikan dinamisasi
masyarakat dalam syair (lagu-lagu) yang dinyanyikan. Fungsi dari tarian ini
adalah syiar agama, menanamkan nilai moral kepada masyarakat, dan juga menjelaskan
tentang bagaimana hidup dalam masyarakat sosial. Rapa’i Geleng pertama kali
dikembangkan pada tahun 1965 di Pesisir Pantai Selatan. Nama Rapa’i diadopsi
dari nama Syeik Ripa’i yaitu orang pertama yang mengembangkan alat musik pukul
ini. Syair yang dibawakan tergantung pada Syahi. Hingga sekarang syair-syair
itu banyak yang dibuat baru namun tetap pada fungsinya yaitu berdakwah. Jenis
tarian ini dimaksudkan untuk laki-laki. Biasanya yang memainkan tarian ini ada
12 orang laki-laki yang sudah terlatih. Syair yang dibawakan adalah sosialisasi
kepada mayarakat tentang bagaimana hidup bermasyarakat, beragama serta
solidaritas yang dijunjung tinggi.
. 6. Tari Seudati
Kata seudati berasal dari
bahasa Arab syahadati atau syahadatain, yang berarti kesaksian
atau pengakuan. Dalam bahasa Melayu dialek Aceh, syahadati diubah
menjadi seudati. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa kata seudati
berasal dari kata seurasi yang berarti harmonis atau kompak.
Selanjutnya, kata seudati dijadikan salah satu istilah tarian yang dikenal
dengan tarian seudati. Tarian ini cukup berkembang di Aceh Utara, Pidie dan
Aceh Timur. Di daerah yang disebutkan terakhir tarian seudati dijadikan sebagai
salah satu tarian tradisional.
Pada mulanya tarian seudati
diketahui sebagai tarian pesisir yang disebut ratoh atau ratoih,
yang artinya menceritakan, diperagakan untuk mengawali permainan sabung ayam,
atau diperagakan untuk bersuka ria ketika musim panen tiba pada malam bulan
purnama. Dalam ratoh, dapat diceritakan berbagai hal, dari kisah sedih,
gembira, nasehat, sampai pada kisah-kisah yang membangkitkan semangat.
Semua kisah tersebut disampaikan dengan menggunakan bahasa Melayu dialek Aceh.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pada masa-masa awal, Seudati ditarikan oleh
delapan orang laki-laki sebagai penari utama, terdiri dari satu orang pemimpin
yang disebut syeikh, satu orang pembantu syeikh, dua orang
pembantu di sebelah kiri yang disebut apeetwie, satu orang pembantu di
belakang yang disebut apeet bak, dan tiga orang pembantu biasa. Selain
itu, ada pula dua orang penyanyi sebagai pengiring tari yang disebut aneuk
syahi.
Jenis tarian ini tidak menggunakan
alat musik, tetapi hanya membawakan beberapa gerakan, seperti tepukan tangan ke
dada dan pinggul, hentakan kaki ke tanah dan petikan jari. Gerakan tersebut
mengikuti irama dan tempo lagu yang dinyanyikan. Bebarapa gerakan tersebut
cukup dinamis dan lincah dengan penuh semangat. Namun, ada beberapa gerakan
yang tampak kaku, tetapi sebenarnya memperlihatkan keperkasaan dan kegagahan si
penarinya. Selain itu, tepukan tangan ke dada dan perut mengesankan kesombongan
sekaligus kesatria.
7. Tari Tarek Pukat
Tarek Pukat merupakan salah satu tarian daerah
Aceh yang sangat terkenal. Tarian ini menceritakan tentang bagaimana
kehidupan rakyat Aceh yang tinggal di pesisisr pantai, dimana sebagian besar
bermata pencarian sebagai nelayan.Tarian Tarek Pukat biasanya di tarikan oleh 7
sampai 9 orang wanita, dan 4 atau 5 orang laki-laki yang mengiringi tarian ini.
Pada dasarnya, gerakan tarian ini sangatlah sederhana, dan mudah untuk di
pelajari, dimana para wanita berdiri dan duduk sambil merangkai rangkaian tali
yang mencerminkan jaring ikan, lalu para laki-laki mengiringi tarian ini di
belakang para wanita dengan memperagakan gerakan yang mencerminkan seseorang
menangkap ikan.
Tarian ini sudah banyak berkembang,
baik dari segi gerakan, pakaian adat, maupun aransemen musik yang
mengiringinya, namun perubahan-perubahan yang terjadi tidak terlalu mencolok
dan tidak melenceng dari bentuk tarian aslinya. Sebagai warisan kebudayaan Aceh, tarian ini harus kita jaga dan kita
lestarikan, terutama kepada generasi muda yang kurang mencintai kebudayaan
daerah.
2.3 Kearifan Lokal
Yang Tidak Nyata
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan
beberapa suku yang mendiaminya, salah satunya suku aceh termasuk Bhineka
Tunggal Ika. Hal inilah yang memberikan kekayaan seninya seperti syair Setiap
suku - suku yang ada diseluruh Indonesia memiliki ciri khas tersendiri baik
didalam adat - istiadat, kesenian dan bahasanya. Keberagaman seni budaya ini
tidak hanya tejadi antara satu pulau dengan pulau yang lain tetapi juga terjadi
antara daerah yang satu dengan daerah yang lain di dalam satu pulau. Gerak laju
pembangunan penerapan teknologi dalam era pembangunan negara dan bangsa tidak
terlepas dari dampak negatif. Jika kita tidak menyadarinya sejak dini maka akan
terjerumus kepada kepunahan sampai kehilangan kekayaan yang berharga, khususnya
syair yaitu selaweut yang memiliki ciri khas masing-masing dan memiliki makna
tersendiri.
selaweut
lahir dan berkembang seirama dengan perkembangan Islam ditanah Aceh,
perkembangan Islam di aceh telah melahirkan suatu bentuk kesenian yang sangat
digemari masyarakat. Kesenian ini sangat menarik karena merupakan perpaduan
dari tarian dan nyanyian, dan lantunan syair sastra. Kesenian ini berisi
syair-syair puisi faktual dan kontekstual menyangkut berbagai macam masalah
kehidupan, baik sosial, politik maupun agama. Syair mengandung mengungkapkan suatu makna dalam kehidupan
masyarakat Aceh besar. Teks syair dan pantun dalam kesenian tersebut dapat
mengungkapkan berbagai macam hal dalam berbagai macam konteks kehidupan.
Kesenian yang paling mendominasi kebudayaan Aceh dan sangat populer ditengah
masyarakat. Populer tidak saja ditempat asalnya tetapi dibeberapa kota besar
seperti Lampaku,Blang Bintang dan Jantho
yang secara berkala sering dipentaskan.
Pada
awalnya silaweut digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama Islam melalui
media syair. Para seniman didong tidak semata - mata menyampaikan tutur kepada
penonton yang dibalut dengan estetika, melainkan didalamnya bertujuan agar
masyarakat pendengarnya dapat memaknai hidup sesuai dengan realitas akan
kehidupan para nabi dan tokoh dalam Islam. Seiring perkembangannya, didong
tidak hanya ditampilkan pada hari - hari besar agama Islam, melainkan juga
dalam upacara-upacara adat seperti perkawinan, khitanan, mendirikan rumah,
panen raya, pesta rakyat, penyambutan tamu dan sebagainya.
Menurut
sejarahnya suku aceh barasal dari India yang pada mulanya mendiami pantai Timur
dan Utara Aceh. Selaweut dapat dipertunjukan pada saat pesta perkawinan antar
dara baro yaitu pihak wanita (ureung inong)masuk kepada pihak
keluarga pihak pria (ureun agam). Jadi, pihak istri masuk menjadi
tanggung jawab pihak suami. Istri tinggal dirumah suami. Mengikuti garis
keturunan ayah. Sebuah seni perpaduan
antara sastra, seni suara, dan seni tari yang digelar dalam satu sistem
bertanding , selain itu kesenian selaweut juga kerap dipentaskan dalam mengisi
acara perkawinan, khitanan, menyambut bulan suci ramdhan, memperingati hari -
hari besar islam dan lainnya. Silaweut adalah perpaduan yang kompak antara seni
gerak dan serentak, teater/pelakonan peran serta syair – syair yang mengandung
pengetahuan dan nilai - nilai yang tinggi.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Provinsi Aceh yang memiliki
setidaknya suku bangsa, memiliki
kekayaan tari-tarian yang sangat banyak dan juga sangat mengagumkan. Beberapa
tarian yang terkenal di tingkat nasional dan bahkan dunia merupakan tarian yang
berasal dari Aceh, seperti Tari Rateb Meuseukat dan Tari Saman. Disini penulis akan membahas
tarian-tarian dari Suku Aceh.
Pada Buku Bunga Rampai Budaya
Nusantara, Kesenian Aceh secara umum terbagi dalam seni tari, dan Syair.
Kesenian Aceh atau ungkapan jiwa orang Aceh, dibalut dengan nilai-nilai agama,
sosial dan politik. Kenyataan ini dapat dilihat dalam seni tari, sastra, teater
dan suara. Selain itu, tari atau seni tradisional Aceh dipengaruhi sosial
budaya Aceh itu sendiri. Seni Aceh dipengaruhi latar belakang adat agama dan
latar belakang cerita rakyat (mitos legenda).
DAFTAR
PUSTAKA
Cambel.2002.Kearifan local nyata dan Tidak Nyata.Jakarta:Erlangga
Martoharsono,Soeharsono.1978.Kearifan Lokal yang Nyata.Yogjakarta:Gadjah
MadaUniversity Press
Murray
RK,Granner DK,Mayes PA,Rodwell VW,2003,Kearifan
Lokal Yang Tidak Nyata,EdisiXXV,Penerjemahan Hartono Andry,Jakarta:EGC
Sumber Foto:
Cut Intan Elly Arby, 1989.Tarian dan Syair Aceh. Jakarta: Yayasan
Meukuta Alam, Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia “Melati” dan YayasanStryer
L,1996,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar